Malut Net

Eksploitasi Tambang Makin Meningkat, Ruang Hidup Pulau Gebe Makin Sekarat

Oleh: Sahawia Firdaus

Aktivis Dakwah Muslimah _______________________________


Malut
.net - EKSPLOITASI
tambang di Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, sudah berlangsung lama sejak tahun 1970-an oleh perusahaan plat merah PT Aneka Tambang Tbk. Tambang pertama di Maluku Utara yang sampai saat ini masih dieksploitasi. Pulau kecil yang setengahnya sudah dikuasai tambang dan menambung sekitar 8 perusahaan. Pulau kecil yang berisi dan menggiurkan sehingga makin dieksploitasi makin rusak serta terancam ruang hidup masyarakat termasuk ruang sekolah.

Dilansir dari cermat.co.id, aktivitas pertambangan nikel kian dekat dengan sekolah dan gereja. Jarak dengan gereja sekitar 100-200 meter dan jarak dengan sekolah sekitar 300-400 meter. Ruang ibadah dan belajar makin terganggu akibat pembongkaran di bagian atas perbukitan. Bahkan dengan jarak yang dekat itu warga sekolah dapat menghitung jumlah ekskavator yang lagi beroperasi. 

Padahal area sekolah didirikan jauh dari pemukiman warga dan dekat dengan area perbukitan yang membawa nuansa kesejukan dan ketenangan tersendiri untuk membantu siswa dalam proses belajar. 

Tapi sayang, perbukitan itu masuk dalam kawasan konsesi pertambangan yang mengakibatkan debu-debu bertebaran di ruang-ruang kelas dan menganggu aktivitas belajar yang membuat mereka semakin tidak aman. Lahan perbukitan yang berubah menjadi lahan pertambangan dan terkonsentrasi pada segelintir orang atas nama investasi.

Ruang Hidup Terancam

Pulau kecil di bawah kaki Halmahera ini selalu menjadi incaran para investor. Pulau Gebe yang hanya memiliki luas sekitar 223,83 km² dan diapit dua pulau kecil di bagian utara dan selatan yakni Pulau Yoi dan Pulau Fau memiliki beban yang berat. 

Sebab kini selain pulau utamanya yang diincar dan menanggung 7 perusahaan, ternyata pulau kecilnya juga disasar yaitu Pulau Fau yang hanya memiliki luas sekitar 9 km2 oleh PT Aneka Niaga Prima (ANP). 

Pulau kecil ini dikepung para investor pertambangan dan seolah siap menerima kerusakannya. Padahal berdasarkan Peraturan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 

Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri tidak boleh adanya penambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil, bahkan menurut Prof La Ode M Aslan, M.Sc yang dikutip dari fiw.id ini menilai sebagai pelanggaran hukum berat. Tapi UU dan pernyataan itu seolah dilabrak UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja dan UU No.3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Beban yang begitu lama dan makin berat membuat ruang hidup masyarakat di Pulau Gebe makin terancam. Padahal kawasan hulu seperti perbukitan di belakang sekolah dan beberapa titik pembongkaran memiliki peran yang sangat penting bagi keseimbangan ekosistem sebagai tempat penyediaan air dan berfungsi sebagai penunjang kehidupan saat ini dan generasi mendatang. 

Tapi mirisnya, semua proyek investasi tersebut berjalan atas izin pihak yang berwenang. Seolah pemerintah tidak mampu menangkap sinyal kerusakan yang diderita oleh pulau kecil ini. Padahal pemerintah daerah telah memiliki kebijakan terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang tercatat dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Halmahera Tengah Nomor 3 Tahun 2012.

Ini semakin menunjukkan besarnya perbedaan sikap penguasa pada rakyat dan kepada para investor yang jauh dari rasa keadilan. Apalagi kerakusan para korporasi yang terus ingin menguasai yang membuat ruang hidup masyarakat makin tidak aman.


Akibat kerakusan korporasi di pulau ini, telah terdeteksi makanan pokok sagu mengalami kelangkaan. Hutan sagu semakin sempit akibat pembongkaran lahan untuk pertambangan. Bahkan dalam data Dinas Pangan Halmahera Tengah, luas lahan sagu di Pulau Gebe hanya sekitar 180 hektare.

 Sampai saat ini pemerintah daerah belum terlalu serius dalam penanganan kritisnya kerusakan yang dialami pulau kecil ini. Ini menunjukkan wajah rusak kapitalisme yang diterapkan oleh negeri ini yang memberikan kerusakan. Hal ini akibat mengatur hak kepemilikan umum menjadi milik individu dan mengorbankan hak banyak orang.


Ini juga tidak lepas dari paket 1967 tentang UU Penanaman Modal yang akhirnya mengeksploitasi hutan menjadi daerah pertambangan. Apalagi jika dilihat semua perusahaan yang beroperasi bukan milik negara yang keuntungannya kembali kepada para korporasi. Ini sangat berbeda dengan sistem Islam yang memandang pertambangan tidak bisa diberikan pada individu,  sebab Islam memiliki pengaturan yang kompleks tentang kepemilikan.

Islam dan Solusi Kepemilikan

Tanah sebagai tempat tinggal dan aktivitas manusia, merupakan salah satu kekayaan yang mendapat perhatian penting di dalam Islam. Sebab, Islam sebagai sebuah ideologi kehidupan memiliki pandangan yang khas tentang kepemilikan. 

Konsep kepemilikan akan terlihat jelas dengan sistem ekonomi kapitalisme yang mengagungkan kepemilikan individu, juga bertolak belakang dengan sistem ekonomi sosialisme yang seolah aset dimiliki oleh negara. Pada kitab Nizham Iqtishadiy yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani Amir ke-1 Hizbut Tahrir, menyebut Islam memiliki pilar ekonomi yang terdiri dari aspek kepemilikan, pengembangan dan distribusi.

Islam memperhatikan kerangka ekonomi politik dan peran negara dalam meletakkan energi untuk kepentingan rakyatnya. Dalam kitab Iqtishadiy menyebutkan Islam mengklasifikasikan kepemilikan menjadi tiga macam, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. 

Kepemilikan individu (private property) Islam menjamin kepemilikan individu, sebab manusia secara fitrah cenderung senang terhadap sesuatu. Manusia terdorong untuk memperoleh dan berusaha untuk mendapatkan sesuatu seperti memperoleh kekayaan. 

Oleh karena itu, kepemilikan akan sesuatu barang harus ditentukan dengan mekanisme dalam memperolehnya, bukan membatasi kuantitasnya. Sebab jika dibatasi akan melemahkan semangat memperolehnya dan bertentangan dengan fitrah.

Kepemimpinan umum (public property) merupakan izin Asy-Syaari’ kepada masyarakat untuk sama-sama memanfaatkannya. Yang termasuk kepemilikan umum yaitu berupa sungai, jalan, laut, teluk, selat, terusan (seperti terusan Suez) dan barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya. Rasulullah menegaskan dalam hadist tentang kepemilikan umum dari Ibnu Abbas menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda "Kaum muslim berserikat (memiliki hak sama) dalam tiga hal yakni air, rumput dan api" (HR. Abu Dawud). 

Atas dasar itu negara tidak boleh (haram) menyerahkan pengelolaannya kepada swasta. Negara wajib mengelola jalan-jalan tol, terusan, dermaga dan lain sebagainya dan memastikan setiap orang bisa mengaksesnya dan memanfaatkan semua fasilitas tersebut.

Kepemilikan negara (state property) merupakan harta seluruh kaum muslimin, sementara pengelolaan menjadi wewenang negara. Dalam syariat telah menentukan harta milik negara. Negara berhak mengelola miliknya sesuai dengan pandangan ijtihad khalifah. Harta negara berupa fai, kharaj, jizyah dan sebagainya. 

Perbedaan harta milik umum dan dan harta milik negara adalah harta milik umum pada dasarnya tidak dapat diberikan pada individu, sedangkan harta milik negara bisa diberikan kepada individu sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Islam memberikan jalan untuk memperoleh penguasaan tanah dan kepemilikan tanah. Di antaranya dengan diberikan oleh negara dan menghidupkan tanah mati dan warisan. Rasulullah bersabda "Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya" (HR. Al-Bukhari).

Rasulullah Saw juga bersabda "Siapa saja yang memagari sebidang tanah, maka tanah itu menjadi miliknya" (HR. Ahmad). Beliau juga bersabda “Siapa saja yang lebih dulu sampai pada suatu (tempat di bidang tanah), sementara tidak ada seseorang muslim pun sebelumnya yang sampai padanya, maka sesuatu itu menjadi miliknya” (HR. ath-Thabarani) (Al-Wa’ie,2021;2023).

Selain kepemilikan yang diatur untuk kesejahteraan masyarakat, pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan juga sangat diperhatikan dalam Islam agar tidak menyebabkan kerusakan sebagaimana dalam sistem kapitalisme hari ini. Sebab semua pengaturan pengelolaan termasuk pengelolaan lingkungan berlandaskan prinsip-prinsip syariat.

Dengan demikian, pembagian kepemilikan dan pengelolaan lingkungan dalam syariat Islam memberikan kesejahteraan bagi semua masyarakat yang akan dinikmati oleh seluruh rakyat secara luas dan memberikan kesejahteraan pada seluruh aspek kehidupan individu, masyarakat dan negara. 

Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak