Potret usai kegiatan
TERNATE, Malut.net - Dalam rangka memperingati International Women’s Day, Samurai Maluku Utara dan DPD IMM Maluku Utara menggelar diskusi panel bertajuk "Gerakan Sosial Perempuan: Ambigu Emansipasi & Konservatif" di Kelurahan Sasa, Gedung NBCL, depan Kampus B UMMU.
Diskusi yang berlangsung sejak pukul 21.00 WIT ini menghadirkan dua pemateri utama, yaitu Wida, yang membahas tema “Perempuan, Tubuh, dan Perlawanan”, serta Fitriyani Ashar, yang mengupas “Penanganan Kasus Kekerasan Seksual.” Senin 10 Maret 2025. tadi malam.
Acara ini mengupas berbagai persoalan yang masih dihadapi perempuan, mulai dari kendali sosial terhadap tubuh, standar kecantikan yang membelenggu, hingga meningkatnya angka kekerasan berbasis gender di Maluku Utara.
Dalam pemaparannya, Wida menyoroti bagaimana konstruksi sosial membuat banyak perempuan tidak mengenali tubuh dan seksualitasnya sendiri.
"Kalau berbicara tentang tubuh biologis, saya rasa kebanyakan perempuan masih belum mengerti tentang kebutuhannya. Ini karena hasil dari konstruksi sosial yang menjauhkan perempuan dari seksualitasnya atau bahkan tidak dapat mengenali identitas dirinya sendiri" kata Wida.
Menurutnya, tubuh perempuan seringkali dikontrol oleh norma sosial dan budaya, baik dalam ranah privat maupun publik.
"Tubuh perempuan selalu dikaitkan dengan seksualitas, tapi ironisnya, perempuan belum mendapatkan hak penuh atas tubuhnya sendiri. Ada pihak lain baik individu, kelompok, norma, maupun aturan yang mengontrol tubuh perempuan dengan berbagai cara," tegasnya.
Selain itu, standar kecantikan yang diciptakan oleh media dan industri fashion semakin memperburuk keadaan.
"Perempuan didorong untuk memenuhi standar kecantikan yang seringkali tidak realistis. Harus langsing, berkulit putih, hidung mancung ini semua adalah konstruksi yang membatasi perempuan untuk menerima tubuh mereka sendiri," tambahnya.
Sementara itu, Fitriyani Ashar memaparkan data terkini mengenai kekerasan seksual yang masih menjadi masalah serius di Indonesia, termasuk di Maluku Utara.
"Jumlah pengaduan kasus kekerasan seksual memang menurun pada tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya, dari 459.094 menjadi 457.895 kasus. Tapi di sisi lain, pengaduan ke Komnas Perempuan justru meningkat dari 4.322 menjadi 4.371 kasus. Artinya, setiap hari Komnas Perempuan menerima rata-rata 17 laporan," ungkap Fitriyani.
Di Maluku Utara, angka kekerasan terhadap perempuan juga menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Maluku Utara mencatat 384 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang Januari hingga November 2024.
"Jenis kekerasan yang dialami korban beragam, mulai dari kekerasan fisik, psikis, hingga kekerasan seksual. Kota Ternate mencatat angka tertinggi, disusul oleh Kabupaten Kepulauan Sula," jelasnya.
Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) juga menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1 Januari hingga 9 Maret 2025, terdapat 22 kasus kekerasan di Maluku Utara.
Secara nasional, total kekerasan terhadap perempuan yang tercatat mencapai 330.097 kasus, mengalami peningkatan 14,17% dibandingkan tahun sebelumnya. Bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan seksual (26,94%), kekerasan psikis (26,94%), kekerasan fisik (26,78%), dan kekerasan ekonomi (9,84%).
Korban terbanyak berasal dari kelompok usia 18-24 tahun, dengan jumlah 1.474 orang.
Diskusi ini menekankan pentingnya upaya serius dalam memberikan ruang bagi perempuan untuk memahami tubuhnya, mendapatkan hak yang seharusnya, serta memastikan perlindungan yang lebih kuat dari segala bentuk kekerasan.
"Perempuan seharusnya memiliki kuasa penuh atas tubuhnya, bukan dikendalikan oleh konstruksi sosial yang membatasi mereka," tegas Wida.
Sementara itu, Fitriyani menekankan bahwa regulasi perlindungan perempuan harus diperkuat dan implementasinya harus lebih tegas.
"Kasus-kasus kekerasan seksual yang terus meningkat menunjukkan bahwa kita masih jauh dari aman. Banyak korban yang masih takut melapor karena stigma sosial atau ketidakpercayaan pada sistem hukum. Ini yang harus diubah" pungkasnya.
Diskusi ini diharapkan menjadi ruang refleksi sekaligus seruan agar gerakan sosial perempuan terus berkembang dalam memperjuangkan hak-haknya, baik dalam aspek sosial, politik, maupun hukum. (Julia/Red).